Jumat, 25 Juni 2010

Grammar, Pentingkah di Amerika?

Kesalahan grammar yang saya temui di Amerika yang merupakan salah satu Negara berbahasa Inggris terbesar dan paling berpengaruh kadang membuat saya bertanya-tanya: pentingkah grammar itu? Saya jadi mengenang guru dan dosen saya dulu. Tiga tahun di SMP, Bruder Benny, Bruder Yohanes, dan Pak Muji adalah guru-guru saya. Orang-orang baik hati yang mengajar saya bahasa Inggris dengan banyak penekanan pada Grammar. Tiga tahun di SMA, Pak Harsono, Bu Emma, Pak Kartika, mereka adalah orang-orang luar biasa, yang mengajarkan grammar bahasa Inggris kepada saya. Lalu di universitas, saya belajar grammar selama 7 semester bersama Romo Broto Sudarmo, Bu Joeli, dan Bu Lanny. Dulu, grammar sangat penting dalam pembelajaran bahasa Inggris di Indonesia. Mungkin sekarangpun masih juga.

Apakah saya menyalahkan sistem pembelajaran bahasa Inggris di Indonesia? Apakah saya menyalahkan guru dan dosen saya? Saya kira tidak. Saya justru berterima kasih karena telah diajar yang benar, sehingga tahu yang salah. Juga jangan dikira bahwa nilai grammar saya bagus. Setelah belajar grammar selama 9 ½ tahun, oh sebenarnya 10 tahun karena Structure VII, mata kuliah grammar tertinggi di kuliah dulu, saya dapat D jadi saya ulang dan tetap nilainya D dan menghiasi transkrip S1 saya.

Sebenarnya, apa sih grammar itu? Ada banyak definisi dari grammar. Di sini saya mendefinisikan grammar sebagai aturan structural pembentukan kalimat, frasa, dan kalimat dari sebuah bahasa. Definisi inilah yang biasa dipakai dalam pengajaran bahasa.

Saya menemukan dua contoh yang sangat menyolok tentang kesalahan pemakaian bahasa waktu saya jalan-jalan di sekitar Chicago. Yang pertama adalah: “Mens” dan “Womens”. Dua buah tanda di depan toilet di sebuah universitas yang cukup menyolok. Saya mengingat guru-guru saya SMP dulu waktu mengajarkan kata benda jamak ada yang regular dan ada yang irregular. Yang Regular ditambah “s” sedangkan yang irregular harus dihafalkan karena bentuknya tidak beraturan.

“MAN” adalah kata benda tunggal yang tidak beraturan, kata jamaknya adalah “MEN” bukan “MENS” demikian pula “WOMAN” jamaknya menjadi “WOMEN” saja bukan “WOMENS”. Saya kira anak SD di Indonesia sekarangpun tahu tapi ini terjadi di Amerika.

Ini hanyalah salah satu contoh pemakaian. Di tempat-tempat umum, kalau saya menguping orang berbicara ada banyak yang grammarnya ‘berbeda’ dengan apa yang diajarkan guru dan dosen saya dulu.

Ada banyak gap yang menganga antara apa yang dipelajari di sekolah dan kenyataan. Ini terjadi hampir di semua mata pelajaran yang dipelajari. Sekolah ketika menyusun kurikulum dan juga guru waktu mengajar hendaknya sadar tentang adanya gap ini.

Dalam hal bahasa mengapa ada gap antara pengajaran bahasa dan realitas bahasa. Saya kira ini terjadi karena perbedaan cara pandang. Guru memandang bahasa sebagai sebuah struktur yang preskriptif. Sehingga yang diajarkan adalah “apa yang seharusnya” yang berupa peraturan-peraturan.

Sedangkan kenyataannya, bahasa adalah deskriptif, seperti pendapat para linguist. Bahasa bukan “apa yang seharusnya” tetapi bahasa adalah “apa yang benar-benar terjadi”.

Jadi akan lebih bermaat kalau kita belajar bahasa dengan pendekatan descriptif, bahasa yang diajarkan adalah yang benar-benar dipakai oleh sebuah masyarakat. Saya kadang masih terkaget-kaget dengan jawaban yang tidak sesuai dengan yang saya pelajari di sekolah dulu.

Kalau meminta ijin misalnya, diajarkan kalau kita harus sopan jadi kalimat berbentuk pertanyaan memakai: “can I …”; “may I …?”; “could I …” atau yang lainnya. Dan jawabannya biasanya: “Yes you can …” atau “No you can’t …”

Suatu hari saya ingin memotret sebuah papan pengumuman di sebuah stasium kecil di daerah utara Chicago. Saya meminta ijin kepada penjaga stasiun itu.

“Could I take a picture of that notice?” kata saya.

“I don’t care.” Jawab penjaga stasiun yang diterjemahkan oleh otak saya menjadi “Emang gue pikirin” dan otak saya menerjemahkan lebih lanjut ke dalam bahasa Jawa “Luweh…”. Saya terkejut. Nampaknya penjaga stasiun itu melihat keterkejutan saya. Lalu dia menambahkan:

“… as long as you’re happy.”

Dan hari itu saya mendapat jawaban “I don’t care.” dua kali. Sorenya saya ke perpustakaan dan mengembalikan satu buku yang saya pinjam. Saya dianggap terlambat 1 bulan. Denda satu hari adalah $ 6, jadi 6 x 30 adalah $ 180. Lhadalah … satu buku dendanya 1,8 juta, di Indonesia saya belum pernah menghabiskan sebanyak itu untuk belanja satu buku. Saya tanya kenapa, dia menjelaskan.

“Mahasiswa S1 peminjaman paling lama 1 bulan, S2 paling lama 3 bulan, dan S3 adalah 4 bulan.”

“Saya mahasiswa doctoral.” Jelas saya.

“I don’t care. The computer says 3 months.” Jawab dia.

“Lhadalah …” saya terkejut lagi. Melihat keterkejutan saya dia berkata:

“This time you’re good, but next time I’ll fine you.”

Jadi pembelajaran prescriptive grammar (apa yang seharusnya) dan descriptive grammar (apa yang benar-benar terjadi) memang perlu seimbang di sekolah.


(http://sosbud.kompasiana.com/2010/02/28/grammar-pentingkah-di-amerika)

1 komentar: